Bryant dan Beiley dalam ’The Third World Political Ecology’ menjelaskan ada beberapa yang memengaruhi lingkungan. Actor yang dimaksud disini adalah Negara dan perusahaan multinasional. Negara memiliki dua fungsi, baik sebagai actor pengguna maupun pemelihara sumber daya alam. Negara sering mempersulit upaya memecahkan masalah lingkungan, berusaha mengejar pembangunan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan termasuk berusaha menarik perusahaan multinasional untuk menanamkan modal di wilayahnya, yang terkadang mengabaikan aspek perlindungan lingkungan hidup.
Konsep Bryant dan Bailey menjelaskan bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi. Ada beberapa asumsi yang mendasari pendekatan aktor, yaitu:
- Biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati oleh para aktor secara tidak merata.
- Distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong terciptanya ketimpangan social ekonomi.
- Dampak sosial ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan tersebut juga memiliki implikasi politik, dalam arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan dalam hubungan satu aktor dengan lainnya.
- Sebenarnya di luar dua aktor di atas, ada satu aktor lain yang tidak dapat dikesampingkan, walaupun merupakan pihak terlemah dalam politicized environment, yaitu masyarakat lokal. Masyarakat local selalu mengalami proses marginalisasi dan rentan terhadap berbagai bentuk degradasi lingkungan. Pengambilan sumber daya alam pada suatu lokasi tertentu, akan memengaruhi masyarakat local yang sudah bermukim sejak lama dan tentunya memiliki kearifan local dalam memandang sumber daya alam tersebut. Semakin kecil peran yang ada pada masyarakat local, maka tingkat kerawanan konflik juga semakin besar. Semakin rawan konflik yang terjadi berarti stabilitas politik juga semakin rendah. Karena itu upaya memberikan ruang dan peran yang lebih kepada masyarakat local semakin penting.
- Politik hijau dapat berkembang subur pada iklim politik yang demokratis, sistem ekonomi yang adil, dan hukum yang tidak berpihak. Untuk konteks ke-Indonesia-an, demokrasi baru sampai pada tataran institusi dan prosedur belum subtantif. Prosedur demokrasi seperti partai politik, lembaga legislative, pemilihan kepala daerah, pemilihan legislative dan pemilihan presiden sudah berjalan baik. Namun politik transaksional yang berkembang antara lembaga Negara, antara calon komisioner/ ketua/ anggota lembaga dengan lembaga legislative, atau antara yang dipilih dengan memilih menyebabkan demokrasi kehilangan subtansi. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan lembaga atau kepala daerah tersebut sarat kepentingan dan sebagian besar menguntungkan pemilik modal. Di sisi lain, masyarakat adat sebagai pemilik dan penjaga sumber daya alam terpinggirkan bahkan dirusak pranata ekonomi, social dan politiknya. Pada kondisi ini demokrasi menjadi kehilangan subtansinya
Di Indonesia persoalan lingkungan hidup sudah sangat akut, misalnya saja pemboran gas oleh Lapindo menghasilkan lumpur yang menggenangi 16 desa di 3 kecamatan, eksplorasi batubara di Kalimantan menimbulkan cekungan-cekungan tanah yang besar, tailing PT Freeport menyebabkan rusaknya lingkungan Papua, terumbu karang yang dalam kondisi baik hanya 6%, deforestrasi hutan yang mencapai 2 juta hektar/tahun, banjir di kota-kota besar di Indonesia, penurunan muka tanah 10 cm pertahun di Jakarta Utara, . Hasil studi IPB memprediksi bahwa tahun 2010 sebanyak 55 DAS dan Sub DAS mengalami deforestasi lebih besar dari 20%.
Gambar Pencemaran Lingkungan
Persoalan lain yang dihadapi adalah adanya perlawanan masyarakat lokal terhadap perusahaan pertambangan emas AS Freeport di Papua. Ada persoalan ekonomi dan politik, ada diplomasi dan hubungan internasional di dalamnya yang menghasilkan dampak negatif pada masyarakat lokal. Ada kolusi dan kerjasama kolektif yang lebih menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan masyarakat local. Persoalan yang sama dapat juga dilihat dalam kasus pencurian ikan, penjualan pasir dan penambang liar.
Kasus lainnya ialah pencemaran limbah berbahaya di teluk Buyat, perbatasan Kabupaten Bolaang Mongondow dan Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, oleh PT Newmont Minahasa Raya tahun 2004. AS menolak 200 juta ton ikan dari Sulawesi pada saat itu. Di Jakarta, banyak ibu-ibu yang berpikir lima kali sebelum beli ikan. Kejadian paling konyol adalah Menteri Lingkungan Hidup saat itu Nabiel Makarim, menyatakan perairan Teluk Buyat tidak mengandung bahan berbahaya seperti merkuri dan arsen. Kalaupun ada, kandungan logam berat tersebut masih di bawah ambang batas yang dapat ditolerir. Namun saat Menteri Lingkungan Hidup berkunjung saat mempromosikan gerakan makan ikan di Sulawesi, pak Menteri menolak memakan ikan yang dihidangkan ke hadapan beliau.
Kasus pencemaran Teluk Buyat menunjukkan sejauh mana keberpihakan pemerintah terhadap korban pencemaran. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Pertambangan dan energi dan Menteri Kesehatan mengatakan bahwa pencemaran logam berat di Teluk Buyat tidak ada hubungannya dengan limbah tailing PT. Newmont Minahasa yang dibuang ke Teluk Buyat melalui pipa-pipa raksasa. Pernyataan pemerintah yang diumumkan diumumkan ke publik mengabaikan beberapa penelitian yang mengungkapkan peranan Newmont dalam pencemaran Teluk Buyat.
Respon pemerintah menangani kasus Teluk Buyat menunjukkan bahwa pejabat di pemerintah masih menggunakan paradigma lama dalam memandang hak-hak dasar masyarakat seperti hak mendapatkan lingkungan yang bersih. Elit masih berpendirian bahwa kepentingan investasi berada diatas kepentingan ekosistem dan hak dasar manusia. Disisi lain, tragedi pencemaran di Teluk Buyat tidak dapat dijadikan simbol perlawanan kelompok pro lingkungan hidup untuk menekan pelaku perusak lingkungan hidup. Gerakan lingkungan hidup belum mampu menempatkan lingkungan sebagai salah satu bidang yang perlu diperhatikan dalam pembangunan disamping ekonomi, social dan politik.
Persoalan pembalakan liar yang melibatkan institusi lintas negara telah merugikan negara baik secara finansial dan lingkungan. Ekstraksi sumberdaya hutan ini melibatkan berbagai institusi dan perorangan dengan perilaku oportunistik yang luar biasa. Bahkan yang paling menarik adalah bahwa kegiatan pembalakan liar ini juga melibatkan pembuatan kebijakan dan keputusan politik di tingkat pemerintahan daerah yang dilakukan untuk menambah anggaran pendapatan daerah serta keuntungan pribadi perorangan dalam sistem pemerintahan daerah maupun institusi informal.
Di era otonomi daerah laju kerusakan lingkungan tidak semakin berkurang, justru semakin bertambah. Hal ini dipicu oleh kebijakan pemerintah daerah meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan cara mengeksplorasi sumber daya alam sebesar-besarnya. Hasil studi kantor Menko Perekonomian pada tahun 2006 dan 2007 menunjukkan bahwa dari 119 Perda yang terkait dengan SDA, sebanyak 60% berisi ijin eksploitasi SDA, 30% berisi tindakan kolaboratif pengelolaan dan pemanfaatan SDA, dan hanya 10% yang berisi hak akses dan kontrol masyarakat atas SDA.
Realitas kerusakan lingkungan seharusnya menggerakkan partai-partai politik (parpol) untuk menyuarakan pentingnya memelihara lingkungan. Partai politik sangat berperan untuk melihat arah keberpihakan pembangunan terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian partai politik dapat membuka ruang politik bagi suara-suara marjinal dan demikian pula dengan degradasi lingkungan yang selama ini menjadi gejala represi struktural dan cenderung terdiam. Namun yang terjadi saat ini partai politik yang ada, belum mampu menyuarakan lingkungan, bahkan beberapa anggota partai justru menjadi sponsor kerusakan lingkungan atas nama pembangunan
Realitas kerusakan lingkungan seharusnya menggerakkan partai-partai politik (parpol) untuk menyuarakan pentingnya memelihara lingkungan. Partai politik sangat berperan untuk melihat arah keberpihakan pembangunan terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian partai politik dapat membuka ruang politik bagi suara-suara marjinal dan demikian pula dengan degradasi lingkungan yang selama ini menjadi gejala represi struktural dan cenderung terdiam. Namun yang terjadi saat ini partai politik yang ada, belum mampu menyuarakan lingkungan, bahkan beberapa anggota partai justru menjadi sponsor kerusakan lingkungan atas nama pembangunan
Menjadi bahan pertimbangan bagi gerakan lingkungan apakah masih dapat menitipkan kepercayaan kelestarian lingkungan kepada partai politik yang ada. Atau mempertimbangkan melakukan konsolidasi, dan kolaborasi gerakan membentuk suatu partai yang dapat memperjuangkan kepentingan lingkungan. Seperti kata feminis perempuan Gloria Steinem, power is only ever taken, and never given. Kekuasaan tidak pernah diberikan tetapi harus diperjuangkan. Kekuasaan mengendalikan lingkungan saat ini tidak dapat lagi dititipkan kepada partai politik yang ada, terbukti dari data-data diatas walaupun kebijakan multipartai di era reformasi telah berjalan lebih dari 15 tahun namun kerusakan lingkungan justru bertambah parah.
Gambar Gloria Steinem Aktifis Feminisme
Indonesia adalah negara dengan sumber daya alam yang besar. Tercatat Indonesia memiliki kekayaan tambang yang besar:
- Timah terbesar kedua di dunia
- Tembaga terbesar keempat di dunia
- Nikel terbesar kelima di dunia
- Emas terbesar ketujuh di dunia. (Statistik Energi Indonesia, 2008)
- Kandungan minyak bumi dengan kualitas terbaik di dunia. Begitu juga dengan Batubara (IMA,2008)
Indonesia didaulat sebagai negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brazil sehingga dikenal sebagai negara MEGABIODIVERSITY. Hutan Indonesia termasuk yang paling kaya keaneka ragaman hayati di dunia. Hutan Indonesia dikenal sebagai hutan yang paling kaya akan spesies palm (447 spesies, 225 diantaranya tidak terdapat dibagian dunia yang lain), lebih dari 400 spesies dipterocarp (jenis kayu komersial yang paling berharga di Asia tenggara), dan diperkirakan mengandung 25,000 species tumbuhan berbunga. Indonesia juga sangat kaya akan hidupan liar: terkaya didunia untuk mamalia (515 spesies, 36% diantaranya endemik), terkaya akan kupu-kupu swalowtail (121 spesies, 44% diantaranya endemik), ketiga terkaya didunia akan reptil (ada lebih dari 600 spesies), keempat terkaya akan burung (1519 spesies, 28% diantaranya endemik) kelima untuk amphibi (270 species), dan ketujuh untuk tumbuhan berbunga. Di bidang agrikultur, Indonesia juga terkenal atas kekayaan tanaman perkebunannya, seperti biji coklat, karet, kelapa sawit, cengkeh dan sebagainya.
Berdasarkan data tersebut maka kehadiran partai hijau di Indonesia sangat perlu. Indonesia harus memiliki pondasi politik lingkungan yang kuat agar sumber daya alam tersebut dapat hanya dapat dinikmati generasi sekarang namun juga generasi yang akan datang. Partai hijau yang tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga memberikan jaminan bagi masyarakat local menerapkan kearifan lingkungannya, dan meningkat kesejahteraannya.
Gambar Green Indonesia Menuju Green Party
Gerakan politik lingkungan di Indonesia saat ini harus memiliki kemampuan untuk memperbesar dan memperluas gerakannya, dan itu hanya bisa dilakukan jika subyek dari gerakan politik lingkungan itu adalah basis massa yang memiliki garis ideologi yang berpikir bahwa perjuangan penegakan keadilan ekologi bukan sekadar membicarakan soal degradasi lingkungan, tetapi juga membicarakan soal keberlanjutan generasi yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar